Most Difficult

Seminggu setelah kelulusanku, aku mencoba untuk mulai menapaki masa depanku. Sejak dulu aku bermimpi untuk melanjutkan sekolahku hingga jenjang tertinggi dan memperoleh gelar tertinggi di dunia akademis dan ilmu pengetahuan. Saat ini, fokus utamaku bukan bekerja untuk memperoleh penghasilan. Hanya dengan bersekolah itulah aku dapat selangkah lebih dekat dengan impianku.

Bersama dengan rekan seperjuanganku, Sasha, aku berkeliling Jakarta untuk mencari informasi-informasi mengenai kesempatan untukbelajar di luar negeri melalui program beasiswa. Demi itu semua aku bersama Sasha berkeliling hingga Gunung Sahari untuk mendapatkan informasi yang sangat kami inginkan, yaitu beasiswa bernama Fulbright dari pemerintah Amerika Serikat. Tempat itu merupakan kantor Aminef.

Di tempat itu kami diterima dengan ramah oleh seorang pria muda lulusan University of Michigan yang bersedia menjelaskan kami segalanya mengenai informasi yang kami butuhkan. Dia bertanya mengenai universitas apa yang kami inginkan. Dengan mudah, aku menjawab universitas yang sangat aku inginkan hingga saat ini, yaitu Princeton University di New Jersey.

Dengan jaringan internet pria itu memeriksa ranking dari universitas itu dan menemukan bahwa level dari universitas itu adalah MOST DIFFICULT, level tersulit dari semua universitas di Amerika Serikat. Syarat-syaratnya pun sungguh sangat mengerikan seperti TOEFL harus di atas 600 (sementara nilai tertinggiku hanya sekitar 560-570). Nilai GRE yang diharapkan juga sangat tinggi. Hal ini cukup membuatku terkejut mengetahui betapa sulitnya memperoleh hal tersebut.

Setelah berbincang lama, kami mulai membahas mengenai Fulbright itu sendiri. Dalam hal ini, kami cukup terkesima mengetahui bahwa betapa hebatnya grant yang disediakan oleh Fulbright. Hal ini cukup membuat kami semangat. Kemudian, tiba-tiba Sasha menanyakan sesuatu yang menurutku sebaiknya jangan ditanyakan setelah mendengar jawabannya. Sasha bertanya berapa orang biasanya yang memperoleh grant Fulbright dalam setahun, dan dengan ringan dijawab hanya sekitar 15 orang dari ribuan peserta. Cukup membuat bulu kuduk kami berdiri.

Pada saat pulang, kami mencoba untuk membayangkan betapa hebatnya bisa mendapatkan Fulbright kemudian berkuliah di Amerika Serikat, tanah suci Ilmu Ekonomi, tempat di mana Ilmu Ekonomi tumbuh dan berkembang. Percakapan pun terjadi di antara aku dan Sasha.
"Hebat ya kalau kita bisa keterima Fulbright. 15 dari 1000, passing gradenya cuma sekitar 1%." kataku.
"Tapi, masih bisalah kalau kita mau berusaha. Kita akan dapat Fulbright dan bersekolah di universitas di Amerika!" jawab Sasha.
"Betul! Gw pengen Princeton. Tapi, katanya levelnya Most Difficult."
"Hmm, Bener. Gw juga mau Harvard."
"No problem! Most difficult doesn't mean it is Impossible. Cuma susah, tapi gak mustahil. Kita pasti bisa!" seruku.
"Betul! Mana ada universitas dengan level Impossible. Gak punya mahasiswa donk nantinya!" timpal Sasha.

Tawa kami pun meledak, tapi yang lebih penting adalah kami memperoleh harapan-harapan baru, Kami percaya bahwa kami masih dapat memperolehnya. Kami sudah terbiasa menghadapi yang mustahil, seperti masa-masa kami menerjang kesulitan di 6th Economix yang sempat kekurangan dana cukup besar pada H-3. Kami pasti bisa menghadapinya dan meraih mimpi-mimpi kami.

We were used to overcome the impossible. So, Most difficult is not a big deal for us, in fact that it is not impossible.

Kami pun berlalu dengan segala mimpi di kepala kami. Kami telah selangkah lagi lebih dekat dengan mimpi itu.

Dream on!
Wirapati

0 Comments: