Sesuatu yang Luput dari Pandangan Kita...

Jumat, 30 Mei 2008, Menyebalkan...

Hari ini adalah hari terakhir ujian di minggu ini (masih ada minggu depan lohh!). Tadi gw menghadapi ujian Ekonomi Sektor Publik yang notabenenya gw agak kurang siap dibandingin yang lainnya.

Pada minggu sebelumnya, dosen gw ini mengatakan bahwa ujian gw bakal paralel dengan kelas sebelah. Spontan aja gw dan yang lainnya panik secara yang diajarin dosen kelas sebelah ma dosen gw jelas hampi sangat berbeda. Dosen gw sangat konseptual sedangkan dosen kelas sebelah menitikberatkan pada perhitungan matematis dan memiliki kurva kebijakan publik yang berbeda dari buku Ekonomi Publik karangan Stiglitz.

Maka dari itu kami semua belajar setengah mati untuk mengejar ilmu2 milik dosen kelas sebelah. Begadang dan belajar menghantui kami hingga Hari-H. Akhirnya saat ujian tiba. Dan... Kami jadi lebih panik lagi dibandingkan waktu dosen kami mengumumkan soalnya paralel. Karena akhirnya dosen kami membuat soal sendiri yang luar biasa berbeda dengan dosen kelas sebelah dan itu artinya kami belum mempelajarinya karena berasumsi soalnya bakal paralel.

Langsung saja majas Pars Prototo dan Totem Proparte bergerak. Orang2 yang menganut aliran Pars Prototo akan mengerjakannya secepat mungkin agar penderitaan cepat selesai dengan mengharapkan tulisannya yang hanya sebagian itu menjelaskan semuanya. Dan orang2 yang menganut aliran Totem Proparte akan menulis sebanyak mungkin untuk mengesankan mereka bisa mengerjakannya dengan tulisannya yang banyak dan ahanya menjelaskan sebagian.

DOSEN KAMI BERBOHONG!! Hanya itu yang bisa kami teriakkan. Tapi, sebenernya gw berpikir klo kita juga salah sihh. Kita terlalu ter-preoccupied dengan pernyataan dosen kita itu dan pada akhirnya menutup mata kita dari kenyataan bahwa sebenarnya tujuan ujian adalah menguji kesiapan kita. Dan ternyata kita tidak siap dengan apa yang kita ujikan karena terlalu berasumsi. Hal ini merupakan kelanjutan dari posting gw tentang Preoccupation yang bisa di baca di sini.

Bicara tentang preoccupation gw jadi teringat kembali mengenai sudut pandang para demostran yang sampai saat ini masih preoccupied dengan kenaikan harga BBM. Sebenarnya tindakan mereka manusiawi, seperti kata Nina di blognya. Tetapi, sekali lagi, ada yang luput dari pandangan kita semua, bahkan dari pandangan gw yang mendukung kenaikan BBM secara ekonomi dan menentang BLT secara sosial.

Kita luput dalam melihat hal yang seharusnya kita demo yang terjadi jauh sebelum kenaikan harga BBM kemarin. Kenaikan harga BBM sebenarnya hal yang tidak bisa dihindari karena jika tidak dinaikkan maka APBN kita akan jebol. Sehingga berdemonstrasi yang manusiawi itu akan sangat percuam dan pemerintah mungkin tidak bisa menuruti permintaa kaum miskin yang mayoritas ini karena masalahnya adalan satu negara yang cakupannya lebih luas dari jika seluruh kaum miskin digabungkan.Mementingkan kaum miskin akan mengorbankan negara ini dan mementingkan negara ini akan mengorbankan kaum miskin. Trade-off yang berat dan sudah menjadi ugas pemimpin untuk memilih di antara pilihan yang buruk.

Lantas apa yang luput dari pandangan kita?

Mari kita mundur tiga tahun dari sekarang. Pada tahun 2005, yaitu pada saat gw masih SMA dan lugu, srta belum tahu apa2 tentang perekonomia, terjadilah sebuah fenomena yang mirip dengan yang terjadi pada tahun ini. Yaitu, kenaikan hrga BBM. Pada tahun itu, bahkan kenaikan harga BBM mencapai 100%, sedangkan saat ini hanya 33%. Pada zaman itu pula dilakukan hal yang sama dengan yang dilakukan pemerintah saat ini, yaitu pembagian BLT.

Hal pertama yang luput dari pandangan kita adalah terulangnya mimpi buruk yang sama. Pemerintah menaikkan harga BBM dengan kompensasi BLT. BLT hanya berlaku untuk sementara karena pada saatnya nanti BLT akan dihentikan (tahun ini direncanakan 7 bulan). Yang harus kita kritik adalah penetapan BLT yang sangat statis ini. Apakah cukup mengembalikan stabilitas ekonoi dengan BLT? Jelas semua orang tahu tidak mungkin dan bahkan BLT tersebut hanya sementara dan bersifat distorsif karena dapat membuat seseorang tidak bekerja.

Akan tetapi bukan sekedar hal tersebut yang yang harus kita kritik. tetapi, pemerintah memberikan BLT tanpa memberikan tindak lanjut yang berarti. Saat BLT dicabut, maka selesai sudah. Tidak ada tindak lanjut. Apa yang sebenarnya telah dilakukan pemerintah Pasca Kenaikan BBM tahun 2005? Tidak banyak! Bahkan bisa dibilang tidak ada!

Negara ini telah 60 tahun lebih merdeka, dan sudah puluhan tahun menjadi ngara penghasil minyak, tapi sudahkah kita mampu mengolah minyak mentah sendiri menjadi minyak jadi? BELUM!! Seharusnya pada lagged time 3 tahun yang lalu hingga hari ini, pemerintah mengembangkan kilang minyak untuk Indonesia. Sehingga Indonesia mampu mengolah minyak sendiri dan tidak perlu bergantung pada impor minyak yang akhirnya menjebol APBN kita. Seandainya kita mampu mengolah minyak sendiri. Seharusnya akselerasi pertumbuhan harga minyak dunia ini tidak terlalu mendistorsi republik ini karena kita bisa self-sufficient terhadap minyak.

Selain itu, selama tenggat waktu tersebut pemerintah tidak melakukan perbaikan dan pembangunan infrastruktur yang berarti. Jika kita semua perhatikan masih luar biasa banyak jalan berlubang. Masih banyak banjir yang menghadang. Dan banyak pula trasnportasi publik yang terjengkang. Akhirnya, banyak bahan bakar terbuang. Pemerintah berdiam diri terhadap semua ini. Proyek Monorail dihentikan. Kereta api tidak diintensifkan. Angkutan umum sebagai penyebab kemacetan tidak ditertibkan. Seharusnya jeda waktu yang lama itu pemerintah bisa memperbaiki banyak hal.

Itulah hal pertama yang harus dikrtik. Pemerintah tidak memberikan tindak lanju atas kenaikan harga BBM dan tidak mempersiapkan diri yntyk Supply SHock berikutnya.

Hal kedua yang harus dikritik adalah behavior pemerintah menghadapi krisis energi ini. Hal ini pernah gw tuliskan dalam posting gw yang bisa dibaca di sini. Dalam keadaan di mana minyak sedang dalam resei, pemerintah hanya menghimbau untuk melakukan tindakan penghematan energi sementara pemerintah tidak mencontohkan tindakan penghematan energi yang sesungguhnya. Mari kita lihat kondisi2 berikut. Presiden untuk melakukan perjalan harus diiringi oleh minimal 12 kendaraan bermotor ber-CC tinggi, which means masing2 menghabiskan bahan bakar dalam jumlah besar. Patut diingat bahwa kendaraan2 tersebut belum termasuk tim advance yang membuka jalan di dpan dan sweeper yang berada di belakang. Bayangkan jika selama sebulan penuh dapat dilakukan minimal 100 konvoi seperti itu.

Kemudian, sudah sewajarnya presiden negara ini bertempat tinggal di Istana Negara. Tetapi, apa yang presiden kita lakukan, beliau lebih sering tinggal di Cikeas di mana setiap harinya beliau harus bolak-balik ke Jakarta. Bayangkan bahwa setiap kali bolak-balik, presiden akan diiringi konvoi seperti di atas. berapa besar energi yang dihabiskan? Dan hal itu dilakukan di saat krisis seperti ini.

Dua hal inilah yang seharusnya kita demo. Bukan kenaikan harga BBM yang kita kritik karena menyengsarakan rakyat, tetapi tindakan antisipatif pemerintah akan kenaikan harga BBM tersebut.

Kita telah terlalu dikuasai oleh pemikiran mengenai keanikan harga BBM sehingga luput dalam melihat hal-hal ini. Sekali lagi, kita harus melihat segalanya dari berbagai macam sudut. Sehingga, kita tidak meluputkan kebenaran yang sesungguhnya yang sebenarnya ada di depan kita.

Smile Eternally,
Wirapati...

0 Comments: