An 'Almost' Right Desicion... Bom Waktu Subsidi BBM!

Kamis, 15 May 2008, Presentasi...

Hari ini sebenarnya hari yang sangat tidak ingin gw hadapi. Mengapa? Karena di hari inilah gw memiliki 2 kewajiban untuk presentasi. Sekaligus! Presentasi Moneter berhasil gw lalui dengan mulus. Yang paling gw khawatirkan sebenarnya adalah presentasi Makro. Karena sampai J-5, gw belum bikin slide sekaligus mempelajari bahan yang harus gw presentasikan. Lengkap sudah.

Tapi pada akhirnya gw berhasil juga untuk melaluinya dan bahkan presentasi di bagian di mana gw yang bikin, dibilang paling canggih karena membuat prediksi akan kemungkinan naik atau turunnya tingkat nilai tukar rupiah selama 1 tahun ke depan. Dan katanya topik yang gw bikin ini bisa dijadiin proposal skripsi. Beh! Gw uda langsung disuruh lulus aja.

Ada sebuah pemikiran yang terlintas dalam benak gw selama ini. Hanya saja gw belum sempat menorehkannya pada perkamen ini.

Pemerintah telah mengambil keputusan yang 'hampir' benar dengan mengurangi subsidi BBM dan mengkonversinya menjadi BLT. Mohon dicatat kata hampir yang gw kasih tanda petik. Mengapa gw menjadikan hal itu perhatian? Hal tersebut akan dibahas nanti.

Sekarang mari kita bahas mengenai subsidi BBM yang sudah kita hadapi selama bertahun-tahun lamanya. Semenjak zaman Presiden Soeharto, negara ini sudah menikmati sesuatu yang disebut subsidi BBM. Betapa rakyat sangat menikmatinya, karena seluruh BBM dapat diperoleh dengan harga yang sangat murah.

Tapi, tak pernahkah semenjak dahulu kala kita menyadari bahwa subsidi BBm yang membuat harga BBM di Indonesia menjadi dalam kondisi fixed rate tersebut merupakan bom waktu yang pada akhirnya berpotensi untuk meruntuhkan negara ini?

Mengapa hal itu bisa terjadi? Pertama-tama mari kita bahas dari sisi pola konsumsi masyarakat. Harga BBM yang murah membuat pola konsumsi masyarakat menjadi cenderung konsumtif terhadap barang komoditas lain seperti barang keperluan sekunder dan lux. Dengan kata lain, Marginal Prospensity to Consume atau Kecenderungan untuk Mengkonsumsi masyarakat meningkat sangat pesat. Harga BBM yang murah memungkinkan masyarakat untuk mengkonsumsi lebih karena sisa pendapatannya tidak habis untuk keperluan BBM. Saat itu mungkin kita tidak menyadarinya. Tapi, bayangkan jika tiba-tiba terjadi laju peningkatan harga minyak yang seperti sekarang ini, masyarakat akan kalang kabut untuk mengorganisir pola konsumsinya kembali karena sudah terbiasa dengan pola konsumsi yang memanjakan.

Kedua, harga BBM yang murah menyebabkan masyarakat menjadi konsumtif dalam hal membeli barang lux yang padat BBM seperti kendaraan bermotor. Sebenarnya membeli kendaran bermotor bukanlah sesuatu yang terlalu mahal. Yang plaing mahal dalam membeli kendaraan bermotor adalah menyediakan BBM yang cukup untuk kendaran tersebut beroperasi secara rutin. Harga BBM yang murah menyebabkan masyarakat tidak takut mengalokasikan pendapatannya untuk bensin. Tingkat konsumsi untuk kendaraan bermotor meningkat. Secara short term, jelas hal ini melipatgandakan konsumsi masyarakat terhadap BBM. Secara long term, kendaraan umum menjadi tidak laku karena masyarakat prefer menggunakan kendaraan bermotor pribadi, dan itu berarti infrastruktur Indonesia terhadap Mass Transport Vehicle tidak mengalami perkembangan. Masyarakat sering menuntut bahwa kalau BBm mau dinaikkan, maka perbaiki dulu infrastruktur. Tapi, hal itu tidak mungkin terjadi selama masyarakat masih menggunakan kendaraan pribadi. Sehingga, pada fase di mana terjadi shortage BBM ini, kita tidak memiliki infrastruktur yang memadai untuk Mass Transport. Seandainya dari dulu tidak ada subsidi BBM, mungkin kita sudah memiliki MRT (Massive Rapid Transportation) saat ini.

Bom waktu yang ada di sini adalah kasus yang kedua, di masyarakat menjadi konsumtif akan BBM. Hal ini mengubah Indonesia mnjadi negara Net Importir, sebab supply minyak di Indonesia tidak dapat memenuhi tuntutan konsumsi masyarakat. Tingkat konsumsi yang tak terkendali ini akan meledak pada kondisi yang sedang kita hadapi. APBN kita tidak mencukupi untuk terus mensubsidi keperluan BBM masyarakat dengan laju peningkatan harga minyak yang tak terhentikan dan tingkat konsumsi masyarakat yang tak terkendali.

Sehingga, memang sudah saatnya bagi kita untuk menaikkan harga BBM. Saatnya bagi kita untuk menekan konsumsi masyarakat akan BBM. Dengan demikian, APBN kita dapat distabilkan kembali.

Sehingga, menurut gw keputusan menaikan subsidi BBM sudah tepat. Tetapi, ada suatu hal yang membuat gw berpikir bahwa keputusan ini baru bisa dibilang 'hampir' tepat, bahkan menuru gw tergolong salah.

Yaitu adalah dengan mengkonversinya menjadi BLT.

Sebenarnya apa yang ingin dicapai pemerintah dengan BLT ini? Kesejahteraan masyarakat? Sayangnya itu tidak mungkin terjadi dengan BLT ini. BLT hanya akan membuat masyarakt kita menjadi lembek dan manja. Dan lebih buruknya lagi BLT tersebut cenderung menjadi disindentif bagi masyarakat miskin untuk mencari pekerjaan atau membuat lapangan kerja. Karena merek berpikir bahwa pada akhirnya mereka akan mendapat BLT dan itu membuat mereka merasa safe. Padahal yang terjadi tidaklah seaman itu.

BLT yang akan diberikan hanyalah Rp100.000,- per bulan. Bayangkan apa yang akan terjadi pada saat harga BBM dinaikkan. Jelas sekali bahwa harga barang-barang akan ikut naik. Inflasi yang diprediksikan oleh pemerintah adalah 17 persen. Sekarang mari kita bagi 100ribu dengan 30 hari. Kita hanya akan mendapat 3ribu dalam sehari. Sekarang, apakah dengan 3 ribu rupiah sehari, pemerintah mampu mengkompensasi inflasi sebesar 17 persen. Tentu tidak! Sehingga BLT ini adalah suatu usaha proteksi akan ledakan bom waktu subsidi BBM yang bahkan tidak dapat menahan laju peluru, sehingga usdah pasti pecah oleh ledakan tersebut.

Menurut gw, bukankah sebaiknya pemerintah mengalokasikan dana tersebut untuk hal yang lebih prduktif. Seperti misalnya menciptakan lapangan kerja, memperbaiki infrastruktur, dan hal-hal lain yang mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Jika subsidi tersebut hanya dikonversi menjadi BLT, maka negara kita tidak akan pernah lepas dari Kerangkeng Konsumsi. Sudah saatnya kita meningkatkan produktivitas. Kita harus malu karena sebagai negara penghasil minyak, kita secara de facto menjadi Net Importir. Semua itu karena kebiasaan kita untuk konsumsi.

Seandainya saja tidak ada unsur BLT dalam hal ini, dan subsidi tersebut dikonversi menjadi hal-hal yang lebih produktif, maka dalam jangka panjang kita dapat menciptakan pertahanan yang kuat akan ledakan bom waktu subsidi BBM. Dan pada saat itulah "Keputusan Pemerintah mengena Subsidi BBM Dikatakan Sepenuhnya Berhasil"

Lantas mengapa pemerintah memutuskan untuk mengkonversinya menjadi BLT. Menurut gw pasti ada alasan politisnya. Pemerintah memanfaatkan resesi dan kenaikan harga minyak dunia untuk mendapatkan suara untuk pemilu yang akan datang. Lagi-lagi kita menghadapi tindakan pragmatis pemerintah. Sebagai mahasiswa harusnya kita mengkaji hal ini lebih dalam dan mengkritisi hal ini layaknya seorang agent of change sejati.

It may be too late already for this, but really, it is not a waste at all.

Smile Eternally,
Wirapati...

4 Comments:

Anonymous said...

Pemerintah tentu telah memikirkan hal tersebut. Menurut gw yang berusaha diredam oleh pemerintah adalah gejolak sosial akibat adanya kenaikan harga BBM yang termasuk cukup drastis (30% means a lot, right?) Pemerintah hanya memberikan jeda waktu untuk masyarakat agar dapat menyesuaikan pola konsumsi mereka. Keputusan untuk menaikkan BBM itu memang tepat, tetapi yang salah adalah menaikkannya secara drastis. Apabila pemerintah menaikkan harga secara bertahap (misalkan 5% perbulan) tentu masyarakat bisa 'lebih mudah' beradaptasi dengan harga baru diikuti dengan pola konsumsi yang disesuaikan. Memang dengan menggunakan dana tersebut untuk membuka lapangan kerja dapat dinilai lebih bermanfaat. Tetapi dengan jumlah pengangguran yang masih besar, berapa biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk membuka sekian banyak lapangan kerja? Kapasitas pemerintah belum cukup untuk menjamin semua rakyat mendapat penghidupan yang layak. Tiap tahun di Indonesia, lahir putra-putri bangsa sejumlah 4,5 juta jiwa. Dengan angka kematian 128 dari 100 kelahiran, berarti Indonesia memiliki pertambahan penduduk sekitar 576000 jiwa. Mereka perlu biaya sekolah, makan, dan banyak biaya lainnya. Subsidi bbm yang dikonversikan ke BLT kepada rakyat miskin tentu sudah membantu kehidupan warga negara yang mungkin sehari-harinya tidak menggunakan bbm tetapi terkena dampak inflasi akibat kenaikan bbm. Menurut gw, pertanyaan yang sebaiknya dilontarkan adalah mana kepedulian antar warga negara? Kemana perginya pajak yang dipungut pemerintah? Sudah efektifkan pajak kita? Dengan efektifnya pajak, tentu pemerintah bisa berbuat lebih banyak. Tidak sekedar menbuka lapangan kerja atau memberikan BLT.

Bagus Arya Wirapati said...

Gw setuju li! Pemerintah emank cenderung terlalu terburu2 dalam menaikkan harga BBM. Dan itu menunjukkan bahwa pemerintah sedang panik. Itulah akar penyebab terjadinya riot di masyarakat.

Klo tentang BLT, bukankah Rp100.000,- itu gak cukup untuk mengkompensisikan inflasi yang 17 persen. Belum lagi jika birokrasi kita yang sampah motong2 BLT yang disalurkan. Pada akhirnya BLT tersebut hampir tidak menambah kesejahteraan rakyat miskin. Seandainya saja kita berpikir long term, uang itu digunakan untuk membangun lapangan kerja, maka kesejahteraan dapat dibangun walau sedikit demi sedikit.

Seperti biasa kita hanya mau instan. Dan jangan lupa, BLT memberikan dampak sosial sebagai disinsentif untuk bekerja dan insentif untuk mengkonsumsi.

Thx for the comment. You give me new idea.

Smile Eternally,
Wirapati...

a said...

BLT itu menurut gw (menurut gw ni roy, kan gw kagak ngarti ekonomi yak? kimia juga tetep gak ngerti juga..) BLT itu bukan buat mengkompensasi kenaikan harga bbm. menurut gw pemberian blt ini cuma usaha pemerintah buat meredam protes (yang pasti akan tetap ada sampai kapanpun juga) dari masyarakat yang (ngakunya) merasa gak mampu lagi kalo bbm naik, padahal itu salah mereka juga, karena pola konsumsi bbm mereka yang tinggi itu.. (yah seperti kata lo ini juga salah pemerintah pada awalnya sih)..
lagian gw yakin pemerintah gak sebego itu untuk benar-benar berpikir bahwa 100rb itu cukup untuk mengkompensasi kenaikan harga bbm itu...
soal kenapa kenaikkannya drastis, gw pikir itu cuma karena pemerintah gak mau repot keseringan nanggepin protes dari masyarakat, karena mau sekecil apapun kenaikannya pasti protesnya tetap kenceng..
hehehe..

Bagus Arya Wirapati said...

Gw setuju ama lw, tri.

Sebenernya emank ada efek yang baik dari BLt ini. Mencegah riot dari masyarakat. Hanya saja perlu kita tinjau ulang lagi apakah ini hanya akan berlaku sementara atau diteruskan.

Klo usul gw ya. Mendingan pemerintah membuat BLT menjadi peredam riot sementara aja, dan sedikit demi sedikit mempersiapkan segala macam hal seperti infrastruktur dan lapangan kerja untuk kemudian mencabut BLT.

Jadinya, efeknya akan lebih langsung menuju ke kesejahteraan rakyat.

Thx for the comment. Nice one!