Lemahnya Pertahanan Nasional Indonesia

"Si Vis Pacem Para Belium - To Prepare for Peace, Prepare for War"

Keamanan adalah sebuah kebutuhan pokok sebuah negara selain kesejahteraan. Bahkan, terkadang keamanan adalah salah satu faktor kesejahteraan dalam sebuah negara. Oleh karena itu, kehadiran sistem pertahanan sangat diperlukan sebuah negara dalam menghadapi gejolak-gejolak yang terjadi baik dalam tingkat nasional dan internasional. Dengan kata lain, kita dapat menganggap program pertahanan nasional sebagai sesuatu yang substansial bagi Indonesia.

Overview Pertahanan Indonesia
Hingga Maret 2008, kekuatan tempur Indonesia dari sisi Sumber Daya Manusia adalah sejumlah 383.870 orang yang hanya merupakan 0,17 persen dari 220 juta penduduk Indonesia. Dengan jumlah penduduk sedemikian besar dan luas wilayah Indonesia yang mencapai 1.919.440 km persegi, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa sumber daya pertahanan Indonesia masih belu mencukupi untuk menjaga stabilitas keamanan Indonesia.

Kondisi alat utama sistem pertahanan (alutsista) Indonesia juga tidak memadai untuk melakukan pengamanan secara menyeluruh. Hal ini dikarenakan anggaran pertahanan yang tidak memadai untuk dilakukannya pembangunan sistem pertahanan yang baik. Untuk 2008, direncanakan Rp36,40 triliun dari anggaran sekitar Rp780 triliun yang dibutuhkan. Angka ini hanya 30% dari anggaran riil yang dibutuhkan.

Jika dipandang dari sisi proporsi pengeluaran pertahanan Indonesia terhadap PDB, Indonesia memiliki proporsi yang kurang lebih sama dengan negara maju seperti Jepang yaitu sebesar kurang dari 1 persen. Hanya saja, Jepang yang memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup stabil dan proporsi anggaran pertahanan yang stabil pula menyebabkan sistem pertahanan Jepang lebih berkembang dibandingkan Indonesia. Sedangkan Indonesia memiliki proporsi yang tidak stabil terhadap PDB dan APBN. Bahkan pada tahun ini, dikabarkan anggaran pertahanan akan dipotong hingga 15%.

Secara sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia, Indonesia belum memiliki sistem pertahanan yang memadai. Bahkan, masih jauh dari untuk menjadi postur pertahanan negara yang memiliki minimum essential forces dengan jumlah penduduk dan luas wilayah sebesar itu. Salah satu alasannya adalah karena Indonesia lebih mengutamakan anggaran bagi kesejahteraan. Sehingga, Indonesia menerapkan paradigma Gun Vs. Butter di mana antara Keamanan dan Kesejahteraan menjadi trade off.

Paradoks Gun Vs. Butter di Indonesia
Seperi yang telah disebutkan, terdapat sebuah paradigma gun versus butter dalam trade off antara keamanan (Gun) dan kesejahteraan (Butter). hal ini mungkin dikarenakan jika kita ingin mengalokasikan sebagian besar sumber daya di salah satunya maka kita harus mengorbankan yang lain.

Akan tetapi, hal yang menarik di Indonesia adalah bahwa paradigma tersebut menjadi sebuah paradoks. Kenyataannya keduanya tidak menjadi trade off di Indonesia melainkan malah menjadi sesuatu yang terjadi bersamaan. Di saat Indonesia mengalami krisis pertahanan karena tidak memenuhi minimum essential forces, Indonesia juga mengalami krisis pangan di saat yang bersamaan. Sehingga, kedua tidak menjadi trade off melainkan terjadi bersamaan. Hal ini adalah sesuatu yang menarik mengingat Indonesia tidak banyak mengalokasikan PDB-nya di sektor pertahanan tetapi di lain pihak juga tidak dapat memajukan sektor pertanian.

Salah satu penyebab paradoks ini terjadi adalah karena Indonesia tidak dapat mempertahankan sumber daya alamnya. Lemahnya pertahanan Indonesia menyebabkan Indonesia tidak mampu mempertahankan wilayah beserta sumber daya alam yang terkandung di dalamnya sehingga mengganggu kapabilitas Indonesia untuk memenuhi kesejahteraan rakyat. Contoh termudah adalah bagaimana Indonesia masih sering kecolongan pembajakan ikan di perairan Indonesia.

Sinkronisasi
Hal utama yang menghambat tumbuhnya pertahanan Indonesia adalah ketidaksinkronan dalam merencanakan pembangunan pertahanan. Tiga menteri yang terkait dengan kegiatan tersebut adalah Menteri Pertahanan, Menteri Keuangan, dan Menteri Perencanaan Pembangunan atau Ketua Happenas. Tampaknya, di antara ketiganya terdapat perbedaan pemahaman dalam melakukan pembangunan pertahanan sehingga apa yang dilakukan masing-masing menteri tidak sinkron dengan menteri terkait lainnya. Sehingga, dalam hal ini diperlukan sebuah penyatuan visi dalam rangka sinkronisasi upaya pembangunan pertahanan Indonesia yang stabil, teratur dan terencana.

Kesimpulannya, Indonesia masih terlalu lemah dalam kondisi pertahanan dan pembangunan pertahanannya. Dengan tidak melupakan unsur kesejahteraan, Indonesia harus memulai untuk meningkatkan potensi pertahanannya. Sebab, pada dasarnya sektor pertahanan memegang peranan penting dalam kesejahteraan masyarakat dan negara. Serta, fakta membuktikan bahwa negara dengan kekuatan ekonomi dan pengaruh yang besar diikuti dengan sistem pertahanan yag solid dan kuat. Sehingga, lebih dari sekedar memenuhi national security, pertahanan dan keamanan membawa dampak yang lebih luas dan struktural, mulai dari politik, ekonomi, kesejahteraan dan lainnya. Indonesia harus dapat mengejar ketertinggalannya dalam bidang pertahanan demi memperoleh stabilitas nasional dan internasional dalam multisektoral.

Regards,
Wirapati

0 Comments: