Perang dan Ilusi Kemakmuran

Kamis, 10 April 2008, Perenungan...

Hari ini cukup menyebalkan buat gw. Melihat gw harus menghadapi 3 mata kuliah sekaligus. Ekonomi Industri, Ekonomi Moneter, dan Makroekonomi. Ketiganya termasuk mata kuliah yg gw sukai sih. Terutama Ekonomi Moneter. Sebab, dari sejak SMP otak gw uda terpatri kalo seandainya one day gw masuk Ekonomi, Gw akan mendalami Moneter. And Here I Am...

Tapi hari ini cukup berwarna dengan adanya pemilihan calon Ketua KANOPI, organisasi jurusan Ilmu Ekonomi. Ternyata banyak sekali yg memilih. Betapa anak2 Ilmu Ekonomi mudah sekali terpancing oleh kata2 "dapet snack koq!". Luar biasa sekali sodara2. Inilah calon2 menteri anda. Pantesan Indonesia kayak gini. Lah menteri-menterinya gampang kepancing. Kepancingnya ama Snack lagi.

Tapi overall yg kepikiran sama gw bukanlah mengenai hal2 yang telah terjadi itu.

Gw sedang sangat concern dengan apa yg terjadi di dunia ini. Betapa ratusan juta orang menderita di dunia ini. Kelaparan, kemiskinan, penyakit, dan lain-lain. Contohnya Zimbabwe yang mengalami inflasi kurang lebih 100.000% . Bayangkan betapa menderitanya penduduk negara miskin tersebut, jika saja beras seharusnya seharga 6000 per kilo saat kondisi negara tersebut normal, maka dalam kondisi Hyperinflation tersebut, Beras bisa saja menjadi jutaan per kilonya.

Tapi bukan itu yg paling gw concern saat ini. Gw melihat sebuah resensi buku karangan Joseph E. Stiglitz yang berjudul "The Three Trillion Dollars War". Betapa gw sadar Perang Irak yang dilakukan Amerika Serikat adalah perang yang benar-benar mahal.

Tiga trilyun dolar itu jumlah yg sangat besar. Sepanjang sejarah perang yang dilakukan Amerika Serikat, hanya biaya perang saat Perang Dunia II yang melampaui mahalnya perang Irak ini. Biaya Perang Dunia II adalah kira2 5 trilyun dolar (telah disesuaikan dengan inflasi, interest rate dan present value) itu pun Amerika harus menghadapi Pincer 2 negara kuat, Jerman dan Jepang. Sedangkan, 3 trilyun dolar yang diperkirakan dihabiskan oleh Amerika Serikat ini hanya dihabiskan untuk menyerang satu negara saja.

Menurut Presiden AS, George W. Bush, Perang Irak ini tidak menyakiti perekonomian AS. Akan tetapi, jika kita pikirkan penghabisan 3 trilyun dollar ini jelas meberikan social cost yang luar biasa.

Well, gw baru saja belajar ekonomi publik dan gw ingin mencoba memikirkannya dengan pemikiran gw yg luar biasa cetek. Seara gw baru 1,5 bulan belajar ekonomi publik.

Perlengkapan perang dan lain sebagainya bisa digolongkan ke dalam barang publik walaupun tidak murni. Barang publik ini pada dasarnya adalah barang yang dinikmati oleh masyarakat tanpa harus membayarnya (secara sederhana ya). Tetapi, sebenarnya barang publik juga dibebankan kepada masyarakat dalam bentuk PAJAK. Ya benar. Pajak yang selama ini kita bayar juga sudah termasuk biaya untuk barang-barang publik yang telah ada di masyarakat.

Bayangkan. Berarti 3 trilyun dolar tersebut juga akan ditanggung oleh rakyat. Rakyat harus membayar biaya perang melalui pajak, padahal rakyat tidak menikmati hasil perang tersebut. Yang menikmati hasil perang tersebut adalah para pengusaha, khususnya minyak, yang menikmati kenaikan harga minyak yang luar biasa di dunia ini. Rakyat mengalami consumer loss secara umum.

Ditambah lagi. Jika 3 trilyun tersebut digunakan untuk kebutuhan yang lebih memberikan value added bagi penduduk, seharusnya kemakmuran penduduk bisa ditingkatkan dengan baik dan pemerataan bisa lebih ditingkatkan. Bayangkan uang sejumlah tersebut dapat membiayai beasiswa puluhan ribu mahasiswa selama 4 tahun sekaligus memberikan makanan dan tempat tinggal bagi jutaan penduduk miskin di Amerika Serikat.

Bush mengatakan bahwa sebenarnya perang ini dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Memang benar jika dilihat dari rumus National Income milik Keynesian yang memasukan variabel Government Expenditure atau Belanja Pemerintah dalam perhitungan National Income. Kenaikan National Income tersebut memang menyebabkan pertumbuhan ekonomi. Hanya saja, jika pertumbuha tersebut dicapai dengan perang, maka yang akan kita hadapi hanyalah sekedar Ilusi Kemakmuran atau Welfare Illusion. Pertumbuhan ekonomi yang meningkat pesat tidak disertai dengan pemerataan pendapatan yang seimbang, maka kamakmuran ini hanya akan dirasakan oleh sebagian orang saja.
Di surface memang terlihat income per capita dari suatu negara sangatlah besar. Income per capita memang menunjukkan pendapatan per penduduk yang berada dalam suatu negara. Tetapi, income per capita tidak dapat menggambarkan kondisi pendapatan yang sesungguhnya. Distribusi pendapatan yang terjadi di masyarakat tidak akan tepat pada income per capitanya. Varians yang terjadi pada data yang sesungguhnya dapat menyebabkan distribusi yang tidak merata pada income tersebut. Jadi, jika income per capitan adalah 1000, belum tentu seluruh masyrakat mendapatkan kira-kira 1000. Bisa saja ada sekelompok orang yang menikmati 1000000 sedangkan mayoritas sisanya adalah 10. Jadi, income per capita hanya menunjukkan rata-ratanya saja, dan bisa berakibat tidak akurat.

Dengan kata lain, janganlah kita terjebak oleh ukuran GDP/GNP/National Income. Sebab, jika Output Nasional tersebut tidak terdistribusi secara merata, maka kemakmuran yang dicapai hanyalah kemakmuran dalam tulisan saja. Sebab, kemakmuran itu tidak dinikmati oleh mayoritas yang pada dasarany tidak memiliki kepentingan akan diadakannya perang tersebut. abahkan pada dasaranya, perang Irak menyebabkan kerugian yang besar bagi masyarakat bahkan dunia.
Jika 3 trilyun dolar adalah biaya yang dikeluarkan Amerika untuk berperang, maka berapakah kerugian yang dialami oleh Irak akibat perang tersebut? Berapakh kerugian yang dialami dunia ini akibat perang tersebut? Social Cost yang dihasilkan perang Irak bisa diperkirakan melebih Perang Dunia II. Padalah perang ini hanya melibatkan 2 negara saja secara umum.

Kita harus bisa membedakan kemakmuran yang sesungguhnya dengan ilusi yang hanya menipu kita karena baik dari luarnya. Dunia ini dalam bahaya jika kita tidak concern dengan kondisi dunia ini. Mari kita semua peduli dengan kondisi dunia yang terancam ini.

Smile Eternally,
Wirapati..
Inspired by "Three Million Dollars War" book.

1 Comments:

Sham said...

yeah, jadi inget kata2 dosen.. GDP itu salah satu indikator yang paling GAMPANG untuk melihat pertumbuhan ekonomi. tapi kan ekonom juga gak ngeliat GDP doang.

inget HDI? itu juga salah satu indikator yang cukup baik kok untuk mengatasi kelemahan GDP. HDI mengukur pertumbuhan suatu negara gak cuma dari income dan expenditure, tapi juga dari kesehatan, pendidikan, dll. jadi interpretasi yang bias atas govt exp yang besar akibat perang bisa diidentifikasi.

tapi hebat juga amrik. bisa ngebiayain perang semahal itu. what a country.. ckckckck