CIgarette Case

Minggu, 13 April 2008, Minggu yang membosankan...

Tak banyak yg spesial yg harus diceritakan pada hari ini. Hanya saja pada saat gw sedang potong rambut, suatu ide muncul di kepala gw 'out of nowhere'.

Sebelum gw melanjutkan, NO OFFENSE buat para perokok, gak maksud menghujat lw semua.

Menurut gw, konsumsi rokok adalah salah satu sumber kemiskinan di Indonesia. Hal ini terutama terjadi pada mereka yang hidup pas2an (Well, gw juga kurang bisa mendefinisikan pas2an, tapi setidaknya mereka adalah orang-orang yang memiliki penghasilan cukup untuk makan dan hidup tetapi tidak banyak untuk hal-hal lainnya).

Pertama kali gw menyadari hal ini adalah pada saat gw naik angkot ke kampus pada hari Kamis, 10 April 2008 lalu. Gw melihat seorang sopir angkot membeli rokok ketengan seharga Rp500,- sebanyak dua batang (berarti total Rp1.000,-). Kemudian gw perhatikan bahwa belum sampai gw ke tujuan. dia batang rokok itu sudah habis di jalan.

Kemudian, gw memikirkan satu hal. Jika sekali jalan mereka menghabiskan 2 batang (atau lebih, soalnya ada juga yang beli 4), kemudian berdasarkan wawancara gw ke sopir angkot yang pernah gw lakukan pada waktu tahun pertama gw di FEUI, mereka dalam sehari bisa jalan dari terminal sampe ujung trayeknya sekitar 5-10 kali bolak-balik tergantung nasib mereka (Let's say rata-rata 5 kali bolak-balik ato 10 kali jalan), berarti dalam sehari sebenarnya mereka rata-rata bisa menghabiskan 20 batang rokok (Setiap kali jalan mereka pasti beli rokok. Hal ini sudah gw observasi berkali-kali.).

Dengan kata lain, sebenarnya mereka menghabiskan Rp10.000,- dalam sehari (20 x Rp500,-). Kemudian jika kita kalikan dengan kerja 30 hari, maka berarti dalam sebulan mereka bisa menghabiskan Rp300.000,-. Rata-rata penghasilan sopir angkot adalah Rp700.000,- bersih full time (Rata-rata loh. Sebenernya variance-nya gede dan beragam banget). Berarti konsumsi terhadap rokok mereka adalah 45% dari total penghasilan bersih mereka.

Rp300.000,- mungkin terlihat sedikit bagi kita para mahasiswa (khususnya yang mampu). Tetapi bayangkan, para sopir angkot itu menghabiskan Rp300.000,- tersebut dalam sebulan tanpa menyadari bahwa sebenarnya mereka telah menghabiskan uang sebanyak itu. Sebab, mereka berpikir belinya hanya seribu-seribu. Tetapi, sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit. Akumulasi dari seribu-seribu itu menghasilkan jumlah yang besar.

Bayangkan apa yang bisa kita peroleh dengan Rp300.000,-. Seseorang dapat menyekolahkan anaknya ke sekolah negeri yang berkualitas dengan uang sejumlah itu. Selain itu, uang sejumlah itu dapat digunakan untuk konsumsi sebulan dan membeli pakaian-pakaian baru. Juga dapat ditabung untuk renovasi tempat tinggal. Intinya, Rp300.000,- tersebut dapat digunakan untuk memperoleh hidup yang lebih sejahtera dari sebelumnya (better-off).

Sedangkan dalam kenyataannya, banyak anak-anak yang putus sekolah padahal orang tuanya merokok. Seharusnya orang tua tersebut prihatin, bahwa memang harga rokok yang mereka konsumsi tersebut terlihat murah dan tidak begitu merugikan. Tetapi, pada akhirnya hal itu mengurangi Saving mereka. Terlebih lagi, bayangkan jika dari mereka ada yang akhirnya terkena penyakit karena rokok tersebut. Kemudian, karena sakit tersebut, selain harus membiayai pengobatannya, seseorang harus menjadi tidak produktif sehingga tidak menghasilkan uang. Betapa Cost dari rokok ini sebenarnya 'Beyond Their Expectations'. Secara eksplisit, rokok memiliki biaya yang cukup besar dan secara implisit, rokok mengandung biaya yang luar biasa besar.

Menurut gw, rokok seharusnya adalah konsumsi kelas menengah ke atas. Karena orang-orang dari golongan tersebut umumnya mampu mengkompensasi biaya yang dihasilkan rokok tersebut. Tetapi faktanya, rokok dikonsumsi terbanyak oleh golongan menengah ke bawah yang umumnya hidup pas-pasan.

Well, gw juga kurang tahu bagaimana solusinya untuk memecahkan masalah ini. Menurut gw seh seharusnya rokok memang harus dikenakan pajak yang lebih tinggi lagi. Sehingga dapat mengurangi konsumsi rokok masyarakat, khususnya golongan menengah ke bawah, karena harganya yang mahal. Selain itu, hal ini juga dapat meningkatkan Government Revenue yang berasal dari pajak. Tetapi hal ini tetap dilematis. Karena umumnya permintaan akan rokok cenderung inelastis khususnya untuk para perokok yang sudah terlanjur kecanduan. Sehingga, bukannya mereka mengurangi konsumsi rokok mereka, mereka akan cenderung menyesuaikan alokasi penghasilannya untuk konsumsi rokok. Sehingga, kebijakan ini juga harus dipikirkan baik-baik. Salah-salah, hal ini bisa membuat pengeluaran masyarakat untuk konsumsi rokok semakin meningkat.

Memang harus didasari pada diri sendiri. Sebelum mapan, seharusnya seseorang ridak merokok atau mengurangi konsumsi rokok. Rokok itu kecil-kecil cabe rawit. Murah tapi total biayanya bisa tak terbatas. Jika setidaknya seluruh golongan kelas bawah menghentikan atau minimal mengurangi konsumsi rokoknya, gw yakin jumlah siswa putus sekolah dapat berkurang kiria-kira 33%.

Setidaknya itu pendapat gw. Memang tidak didasari observasi-observasi yang layak, hanya dengan observasi informal yang berawal dari pembicaraan-pembicaraan ringan dengan sopir angkot, akan tetapi gw yakin dampak yang diperoleh tetap besar walaupun tidak mendekati perkiraan gw.

Gw tidak menyalahkan orang-orang yang merokok, tetapi akan lebih baik jika mereka mengkonsumsi rokok pada saat kondisi mereka sudah mapan. Masalah rokok ini terlihat kecil, tetapi sebenarnya mengandung biaya yang lebih besar dari perkiraan kita semua.

Smile Eternally,
Wirapati..

4 Comments:

Sham said...

ya.. tapi kita gak bisa menyangkal kenyataan bahwa rokok adalah industri raksasa di indonesia yang walaupun sebagian BESAR hasilnya dinikmati oleh beberapa kapitalis, tapi tetep aja ngasi lapangan pekerjaan buat masyarakat.

Lagian kita gak bisa nyuruh cuma orang kaya yang boleh konsumsi rokok. kalo mau exclude gtu, paling banter kita impose high tax ke rokok.cuma pasti gak segampang itu juga, ada dampak lainnya juga.

yah.. tapi pemikiran yang cukup bagus roi. hehehhe

Bagus Arya Wirapati said...

Gw setuju banget mien.. Makanya gw bilang ini dilematis. Kebijakan terhadap rokok adlh pedang bermata 2.

wiydiy said...

gue setuju sama nyamien,
karena sekalipung gue bete dan nggak respek sama perokok,
yang meurut gue nggak bertindak secara efisien untuk ngabisin resourcesnya *baca: uang*.

ngerokok: ngebakar duit.

tapi kita juga nggak bisa memungkiri kalo industri rokok juga ngasi penghidupan ke banyak orang dengan lapangan kerja yang ada,
bahkan kualitas tembakau di indonesia merupakan salah satu tembakau terbaik dunia.

cuma kebijakan apa yang tepat, pasti banyak kontroversinya.

iya kan?

Bagus Arya Wirapati said...

Pastinya bnyk kebijakan yg bisa digunakan. Tapi layaknya obat, dia pasti punya efek samping.

High tax terhadap rokok di Amerika uda berhasil di jalankan. Krn menurut gw permintaan terhadap rokok cukup inelastis. Jdnya dengan produksi yg tidak terlalu berkurang, pemerintah dpt penerimaan besar melalui tax.

Cuma klo diterapin di Indonesia kyknya bahaya juga seh. Soalnya Konsumsi akan rokok yg bikin harga rokok malah menambah pengeluaran golongan bawah.

Itu dilemma yg harus dihadapi melalui High Tax.