What's Inside the Cover

Apa yang terpikir oleh gw saat ini berangkat dari salah satu post partner gw, Shamien, di blog kami mengenai “Judge A Book By Its Cover” (klik di sini). Basically, gw sangat setuju dengan pendapat beliau.

Menurutnya, kita jangan sepenuhnya berpegangan teguh dengan sebuah proverb yang mengatakan “Don’t Judge A Book By Its Cover”. Why? Cuz, in the end, every single of us look at the cover before we try to read it. Pemikiran dasarnya adalah, “Bagaimana isinya mau bagus klo covernya aja uda parah?”. Atau dengan kata lain, jika covernya saja sudah dibuat asal2an, boleh dibilang isinya bisa jadi gak kalah asal2annya.

Gw setuju! Memang, cover adalah sesuatu yang esensial banget untuk memberikan first impression, di mana seseorang akan tertarik untuk menyelami buku itu lebih dalam. Jika diartikan dari sisi manusia, berarti penampilan luar akan memberikan insentif atau disinsentif bagi orang lain untuk mengetahui kita lebih dalam atau berteman atau berpacaran dengan kita.

Akan tetapi, gw juga gak sepenuhnya berpegang teguh pada pemikiran itu. Mungkin bagi gw, selalu menilai covernya merupakan hal yang terlalu kaku dan bisa menyesatkan jika kita gak mau mencoba. Tapi, mungkin bukan itu yang ingin gw bahas.

“Bagaimana jika kita sudah mengetahui isinya?”

Pertanyaan itu akan gw lontarkan kepada kalian. Jika kalian sudah mengetahui isinya, apakah kalian akan tetap melihat covernya? Bagaimana pun juga, jika dianalogikan ke dalam hidup manusia, cover boleh dibilang adalah wajah manusia. Maukah kalian tetap berteman atau berpacaran dengan seseorang yang luar biasa tulus dan baik hati, akan tetapi (no offense) memiliki sesuatu yang tak biasa yang mungkin sult diterima orang lain, seperti keterbatasan fisik atau kegantengan?

Gw teringat masa muda gw dulu (Aduh2, uda tua ya? Gak ah, gak mau dibilang tua, dewasa aja. Haha) seorang teman dekat pernah bertanya ke gw seperti ini:

“Roy, knapa lo suka ma cewe itu sih? Menurut gw sih dari muka, biasa aja. Gak ada spesial2nya.”

Dulu gw gak bisa menjawabnya dengan tegas. Maklum, gw masih sangat muda banget waktu itu dan belum punya pemikiran2 tertentu. Tapi, jika ditanya sekarang, gw akan menjawab dengan tegas:

“If you have seen the beauty inside, why do you have to bother too much about the cover?”

Ya. Itulah jawaban dari gw, Kalo gw emank uda meihat the inner beauty yang membuat gw terkagum2 dengan wanita itu, kenapa gw harus terlalu mengkhawatirkan bungkusnya (fisiknya). Ketahuilah bahwa cover adalah sesuatu yang necessary but not sufficient. The inner beauty is sufficient. Hanya saja, bentuk cover mempengaruhi bagaimana kita menilai inner beauty. Itulah mengapa kita terkadang gak mau memperhatikan orang bercover buruk. Karena kita terpengaruh oleh covernya yang buruk dan mendisinsentif kita uda memahaminya.

I’m not a cover freak person, though I concern about the cover itself. But, once I have seen through the cover and get to see the beauty inside, then realized that it is what I need, what I want, what I love, the cover is just a decoration for me. It is necessary but not enough.

So, why do I have to bother?

Smile Eternally,
Wirapati

1 Comments:

tere616.blogspot.com said...

Hm..kita memang tidak pernah bisa melepaskan diri dari "cover", bohong kalau ada yang bilang mereka bisa menistakan "cover".

Kita memang tidak sepenuhnya harus berpegang pada pepatah "Don't Judge A Book By Its Cover" tetapi kalau kita renungkan lagi, sebenarnya pepatah tersebut untuk mengingatkan kita untuk tidak membuang sesuatu yang belum kita kenali.

Jaman duluuu banget, jaman masih remaja (nggak mau dibilang tua juga), tampak luar memang berpengaruh dan kita cenderung tidak memberikan kesempatan kepada si cover yang tidak sesuai standard.

Well, can't agree more than you :-)