What If You Cannot Recognize Yourselves?

Tak ada senyum di wajahku. Aku menjadi orang yang sangat serius. Aku tidak lagi bisa menanggapi lelucon yang orang lain lontarkan sebagai sebuah lelucon. Aku menjadi orang yang kejam pada orang lain, termasuk temanku. Hatiku diliputi curiga dan prasangka. Naluriku dipenuhi keinginan untuk menghancurkan seperti anak kecil yang terkadang berkeinginan untuk memecahkan vas bunga di ruang keluarga. Derai tawa yang biasa terdengar dari diriku hanyalah tinggal sebuah kesepian di wajahku. Yang terlihat di cermin, adalah wajah berkulit hitam, dengan alis curam, mata setengah tertutup yang mengesankan kesadisan, tulang pipi yang mengakat ke atas dan bibir datar dan tipis yang menggambarkan kebencian pada semua yang kulihat. Aku bukan diriku lagi...

Sepanjang perjalananku ke kampus, di dalam mobillku yang tapenya tidak kunyalakan sama sekali, aku menyetir dengan pikiran yang tidak terhubung ke kemudi yang kugenggam sekuat tenagaku. Di kepalaku hanya ada ribuan flashback yang berkelebat menampilkan segala sesuatu yang telah membuatku seperti ini. Segala sesuatu yang ingin kuhapuskan dari kepalaku, walaupun harus memecahkan kepalaku sendiri dengan menekan pelatuk senjata api dan menembuskan peluru panas ke otakku yang tersakiti. Tanpa sengaja aku melihat wajahku yang terpantul di kaca cermin speedometer dan kudapati wajah penuh kesepian yang diwarnai rona kebencian, kebencian pada temanku, sahabatku, guruku, saudaraku, orang tuaku, gebetanku, dan bahkan diriku sendiri. Tak lagi kudengar deru angin di jalan tol T.B. Simatupang di telingaku. Hanya ada deru penderitaan di dalam kepalaku.

Di depan mading Kanopi yang biasa kudatangi pertama kali ssat kutiba di kampus, biasanya aku tersenyum saat melihat wajah temanku datang ke hadapanku. Kali ini, aku bisa merasakan, pandanganku yang penuh curiga menembus hati temanku, bertanya2 kesakitan apa yang akan dibawanya kepadaku. Aku tidak lagi menyapanya dengan seruan membahana penuh dengan gairah dan semangat. Aku hanya memutar kepalaku, memalingkan wajahku dari pandangannya dengan dingin dan kembali memandang mading Kanopi tanpa membacanya sedikit pun.Bagiku, dihadapanku hanyalah mading kosong tanpa satu pun mengisinya seperti hatiku yang kosong. Sepi sekali rasanya.

Di kelas aku sama sekali diam, di sudut kiri belakang kelas yang jauh dari pandangan siapapun memandang ke jendela luar yang menampakkan taman makara tanpa air mancurnya yang biasa menyembur penuh gairah memberikan kesejukkan bagi yang melihatnya. Seperti kehilangan air mancur makara yang biasa menyejukkan hatiku, aku pun merasakan diriku yang seperti kehilangan sesuatu yang biasa memberikan semangat bagiku, memberikan senyum dan pikiran positif bagiku. Panggilan dosenku yang bertanya padaku mengenai review kuliah minggu lau aku salah artikan sebagai perbuatan kotor yang berusaha mempermalukanku di depan kelas karena tak bisa menjawabnya.

Di kantorku di departemen, seperti biasa aku duduk di kursi yang paling ujung. Tidak ada satupun staffku yang kusapa pada saat mereka masuk. Aku hanya memperhatikan bagaimana mereka masuk kemudian mengalihkan pandanganku kembali kepada kertas kosong yang ada di hadapankum bertindak seolah2 membacanya. Aku tidak lagi memiliki kebijaksanaan. Aku sama sekali tidak metolerir kesalahan. Aku menyampaikan perintah dengan angkuh dan terkadang kasar. Dan aku dengan teganya akan mempermalukan bawahanku yang melakukan kesalahan di depan teman2nya. Saat salah seorang staffku yang bernama Marshall bertanya knapa aku bertindak demikian, dengan tanpa berpikir panjang aku menjambak kerah lehernya dan menghantamkannya ke tembok sambil meneriakkan kata2 umpatan untuk menyuruhnya tidak ikut campur. Aku lebih buruk dari seorang diktator.

Aku menjadi tega dengan temanku. Saat mereka semua memperingatkanku, aku tanpa ragu menyakii mereka. Aku memukul Uchal tepat di wajah karena memegang lenganku untuk mengehntikanku yang sedang berjalan untuk berbicara denganku. Aku membentak Happy yang marah melihatku memukul uchal. Aku mendorong Nabir sampai jatuh karena berusaha menghentikanku menghajar Uchal lebih lanjut. Aku melemparkan Uli dan Rensus yang berusaha meleraiku dan memegangiku. Aku hanya memandangi Icha dan Widi yang menangis melihat kejadian ini dan Shamien yang dengan wajah murka meninggalkan tempat itu, memandang mereka dengan penuh kebencian.

Aku pergi meninggalkan teman2ku yang masih terpana dengan kejadian ini dan berhenti saat Uchal berteriak, "Lo telah berubah!". Sesuatu seakan2 menembus dadaku, merobek hatiku, membuka kepalaku dan menjernihkan otakku. Aku tiba2 melihat diriku yang sangat buruk ini dari dasar hatiku. Aku menyadari betapa aku telah berubah. Hanya karena sebuah masa lalu yang tak bisa aku terima. Hanya karena hal sepele itu aku menyakiti teman2ku. Aku tahu, mereka tak salah. Aku hanya bisa diam dan membiarkan hatiku menjelajahi benakku, berusaha menghidupkan kembali logika dan nalar yang menghangatkan kembali tubuhku. Layaknya es yang mencair karena menemukan kehangatan di tengah hati yang membeku, keringat mulai membasahi tubuhku, dan air mata mengalir di wajahku.

Sekejap aku terbangun dari mimpiku. Tekujur aku di tempat tidurku. Dengan tubuh basah penuh keringat dan air mata menggenangi mataku. Dinginnya AC di kamarku menyelimuti pikiranku yang membeku. Dan sedikit demi sedikit aku sadar, betapa hampa dan menyakitkannya berubah menjadi sesuatu yang tidak kita kenal, sesuatu yang sama sekali bukan diri kita. Aku menyadarinya dengan pikiranku yang jernih dan hatiku yang lapang, betapa aku tidak ingin kehilangan diriku.

=======================

Pemikiran ini dimulai dari mimpi buruk yg gw alami tadi malam. Mimpi itu bener2 membuat gw ketakutan sampai gw terbangun secara tiba2 di tengah malam2 buta dengan tubuh bersimbah keringat dingin padahal AC kamar lg dingin2nya. Mimpi itu mengenai diri gw yang gak gw kenali lagi. Diri gw yg gw rasa sama sekali bukan diri gw padahal berbentuk diri gw. Seperti ada 'orang lain' dalam diri gw.

Semua yang terjadi dalam mimpi itu adalah karena sebuah hal (yg gak perlu gw critain backgroundnya soalnya complicated dan males mengingatnya karena gw jg gak suka backgroundnya), gw merasa seperti hati dan kepala gw tertembus oleh sesuatu yang tajam. Biasanya kita menyebutnya 'shock' atau 'sakit hati', entah yang mana. Setelah mengalami (gw sebut aja) shock tersebut, gw merasa seperti ada yang menguasai pikiran gw, like something 'evil'.

Gw semakin menyadari betapa berharganya perasaan dan hati yang kita miliki. Betapa menyakitkannya jika kita kehilangan diri kita sendiri. Gw semakin mengerti kenapa kita harus mengontrol emosi kita, mengontrol hati kita dan tidak menyerahkan diri kepada kegelapan yang tertinggal dalam diri kita.

Entah bagaimanapun caranya, gw berharap mimpi itu gak menjadi kenyataan. Merasakan sakitnya di dalam mimpi saja sudah membuat gw sulit bernapas. Gimana kalo jadi kenyataan? Well, I have to be strong.

I'll let my heart to be unbreakable!

Smile Eternally,
Wirapati

2 Comments:

Martha-Happy said...

kalo begini cara lo menyikapi perasaan yang gak bisa tersampaikan dan menyalahkan keadaan untuk semua kesulitan dan kegusaran yang lo alami, lo salah kawan...

Bagus Arya Wirapati said...

Hmm.. Gw takut perlahan2 g menuju ke arah sini.. Widi ampe sebel sama gw. Gara2 gw berubah. I hope this dream not become true!

Tp emank lw tau background mimpi ini??