Ketika Memilih Bukanlah Sebuah Pilihan

Kamis, 9 April 2009. Pesta Demokrasi...

Hari ini adalah hari yang sangat aku nantikan. Mungkin ini hari yang paling aku nantikan selama 10 tahun terakhir. Tanggal 8 April ini adalah Pemilihan Umum (Pemilu) pertama bagiku. Tentunya untuk beberapa teman-teman yang juga baru saja menginjak umur 17 tahun ke atas merasakan hal yang kurang lebih sama walaupun ada juga perasaan ingin golput.

Untuk itulah, setelah semalaman bekerja untuk KANOPI (organisasi mahasiswa jurusanku di Ilmu Ekonomi FEUI), aku langsung pulang pagi-pagi agar sempat untuk mencontreng karena kabarnya TPS ditutup jam 12 siang. Aku menyempatkan diri untuk mencontreng padahal masih agak mengantuk setelah semalam bekerja. Hal ini semata-mata karena ini adalah Pemilu pertamaku dan aku memang bertekad untuk menyuarakan aspirasiku pada Pemilu ini dan setiap Pemilu yang akan aku lalui nantinya.

Sesampainya di rumah, aku langsung bersiap mencontreng. Sebelum pergi, aku bertanya pada orang rumah tentang kartu pemilihku. Ternyata, dari 6 orang yang potensial untuk memilih di rumahku, hanya ibuku yang memperoleh kartu pemilih. Hal ini memang sudah menjadi isu yang cukup hangat selama beberapa hari menuju Pemilu 2009 ini. Pihak KPU telah menyatakan bahwa pemilih bisa memilih dengan menunjukkan KTP ke TPS di RT masing-masing.

Percaya dengan penyataan KPU, aku pergi ke TPS untuk mengeksekusi Pemilu pertamaku. Sesampainya di TPS, aku langsung menunjukkan KTPku pada pihak panitia dan ternyata namaku terdaftar. Saat itu TPS mulai kosong karena sudah jam 11 lewat, sehingga aku menyelesaikan Pemilu pertamaku dengan cepat. Saat aku pulang, aku melihat sekumpulan bapak-bapak dan beberapa ibu-ibu yang tampak tengah berdiskusi di dekat TPS. Tanpa sengaja aku mencuri dengar pembicaraan mereka. Ternyata mereka sedang berdiskusi mengenai Pemilu hari ini.

Dalam diskusi tersebut, aku mendengar bahwa terdapat beberapa orang di antara mereka yang namanya tidak terdaftar di TPS, padahal mereka memiliki KTP setempat dan sudah lama tinggal di daerah tersebut. Mereka mengeluh karena mereka sudah jauh-jauh berjalan ke TPS dan menemukan mereka tidak berhak untuk memilih. Hasilnya, mereka harus mencontreng partai Golongan Putih. Ternyata, hal ini tidak hanya terjadi di daerahku saja. Seorang temanku juga mengalaminya, di mana ayahnya sendiri juga tidak terdaftar dan harus melewati proses yang cukup lama untuk bisa memilih. Fenomena ini terjadi di banyak sekali TPS di Indonesia.

Aku adalah seorang yang idealis, yang percaya bahwa golput bukanlah pilihan bagiku. Saat banyak pihak di televisi dan koran menghimbau kepada masyarakat untuk tidak golput, aku sangat menyetujuinya. Terutama saat KPU mengatakan bahwa seorang pemilih yang cerdas tidak akan golput, aku juga dengan semangat menyetujuinya. Tapi, bagaimana jika yang terjadi adalah sebaliknya? Bagaimana jika "Memilih bukanlah sebuah pilihan"?

Dengan segala himbauan yang diberikan KPU untuk tidak golput, KPU terbukti tidak menciptakan sistem yang baik untuk para pemilih. Dalam Pemilu kali ini, banyak pemilih yang tidak diberikan pilihan lain selain golput. Hal ini dikarenakan mereka tidak terdaftar, sehingga banyak di antara mereka yang tidak bisa memilih karenanya. KPU sering mengatakan bahwa memilih adalah hak dari masing-masing warga negara dan sebaiknya warga negara menggunakan hak pilihnya dengan bijaksana. Akan tetapi, KPU tidak memberikan hak pilih kepada orang-orang yang sangat dihimbaunya untuk memilih. Di Jombang, malah bayi berumur 5 tahun yang terdaftar sebagai pemilih sementara di tempat lain banyak pihak yang sebenarnya berhak memilih tidak memperoleh haknya.

Ada baiknya bagi KPU untuk memperbaiki sistem yang dimilikinya terlebih dahulu sebelum menghimbau semua orang untuk menggunakan hak pilihnya. Karena, walaupun semua orang sudah membudayakan dirinya untuk memilih, jika tidak ada fasilitas yang mengakomodir budaya tersebut, maka tetap saja budaya itu tidak akan berkembang. Memberikan himbauan secara besar-besaran tanpa ada perbaikan sistem, tidak akan memperbaiki apapun. Malah, dengan sistem yang ada sekarang, orang yang seharusnya ingin memilih jadi tidak memilih. Akibatnya akan lebih buruk dibandingkan sebelumnya.

Untuk bisa menciptakan pemilih yang berpendidikan, harus diciptakan dulu sistem yang terdidik juga. Sebuah sistem yang mampu mengakomodir segala hak para pemilih adalah harga mati bagi KPU untuk bisa menjalankan Pemilu yang berkualitas. Dengan sistem yang baik, bukan hanya pemilih yang berniat memilih dapat memperoleh haknya, tetapi pemilih yang memilih untuk golput dapat mengubah sikapnya dan memutuskan untuk memilih. Sistem yang baik di mana para pemilih dapat mengetahui dengan baik siapa yang akan dipilihnya juga merupakan sebuah keperluan. Karena, selain dapat membuat pemilih golput untuk menggunakan haknya, hal ini juga dapat mengurangi kemungkinan para pemilih untuk salah memilih calon pemimpin negeri ini.

Memilih adalah hak bagi seluruh warga negara Indonesia. Untuk itu, pemilih juga berhak untuk memperoleh fasilitas untuk memperoleh haknya. Sebelum KPU berusaha memperbaiki para pemilih, ada baiknya KPU memperbaiki dirinya dulu atau sistem yang dibawanya. Warga Negara Indonesia berhak untuk memperoleh haknya.

Smile Eternally,
Wirapati..

0 Comments: