The Storm and The Sky

Musim hujan sudah berlalu dan saat ini cuaca semakin terik. Panas terus menyengat muka bumi ini karena kemarau telah tiba. Memang cuaca di Indonesia tidak seromantis cuaca di daerah iklim sedang yang memiliki 4 musim, tetapi banyak yang bisa kita perhatikan dari kanopi raksasa bernama langit yang menaungi bumi ini.

Sudah cukup lama semenjak hujan terakhir di musim hujan. Pancaroba kali ini banyak dihiasi oleh matahari terik dengan sinar yang sedikit-sedikit mengintip dari balik awan. Langit hampir tertutup karena awan yang menyelimutinya di siang hari. Bahkan, terkadang awan tersebut adalah awan mendung yang tidak meneteskan setitik pun embun ke permukaan bumi.

Beberapa hari ini aku terus menatap langit dari lantai 2 gedung student center FEUI sambil duduk di balkonnya yang menampakkan pemandangan langit dengan berhiaskan pepohonan dan bangunan khas Universitas Indonesia. Apa yang aku lihat adalah langit berawan yang warna birunya hampir tertutup oleh warna putih. Sudah lama aku ingin melihat objek yang paling kusukai di dunia ini yaitu langit biru yang bebas.

Lama kunanti dan tak pernah terlihat langit itu karena kerumunan awan sebesar ikan paus yang menyelimutinya. Awan-awan tersebut seperti ingin menjaga sang langit agar tak ada satu pun penyusup yang bisa menembusnya dan menjelajahi luasnya langit yang tak terbatas.

Beberapa hari lalu, langit yang kunantikan itu malah ditutupi oleh awan kelabu, seolah marah karena melihatku terus-menerus memperhatikan langit seolah berencana untuk mengelabuinya, sang penjaga langit. Hari semakin sore dan awan semakin kelabu menampakkan langit mendung dengan matahari terik khas musim kemarau yang menyengat. Aku menyusuri jalan yang kosong sambil memperhatikannya yang seperti ingin menyemburkan kilat kemarahan.

Ternyata benar adanya. Senja berlalu dan malam pun membuka matanya yang putih pucat. Kemarahan sang awan pun meledak dan mulai meneriakkan amarahnya yang telah ia pendam berhari-hari. Petir menyambar seperti ingin menjatuhkan murkanya ke muka bumi. Kilat berpendar mendahului ledakan petir seperti ingin membuktikan keberadaannya. Hujan pun turun dengan derasnya. Sangat deras hingga seakan ingin membanjiri muka bumi ini dengan air mata kemurkaannya. Suaranya yang menyentuh atap rumahku memberikan pesan bahwa perasaan yang tak tersampaikan itu, perasaan amarah sang penjaga langit karena bencana yang disebabkan oleh manusia sendiri yang memutarbalikkan siklus cuaca dunia, telah membuatnya menimbun kesedihan dan amarah dan mencurahkannya dalam satu hempasan besar badai pancaroba.

Malam meninggalkan bumi dan menampakkan matahari yang mengintip dari timur. Badai itu telah berlalu. Bau rerumputan basah mewarnai udara pagi yang dingin menusuk memberikan perasaan bergetar pada tubuh yang menyaksikan amarah sang penjaga langit semalam. Tak disangka bahwa amarah yang dicurahkan semalam tidak mengakibatkan satu kerusakan pun yang berarti.

Siang harinya kembali aku berdiri di lantai dua Student Center dan kembali menatap objek favoritku. Kali ini aku terkesima. Langit menampakkan atmosfernya yang biru bagaikan lautan rubi yang melayang-layang di angkasa. Awan-awan yang kemarin menutupinya, telah menghilang. Hanya tersisa gumpalan-gumpalan kapas tipis yang melayang-layang terbawa angin. Langit begitu cerah menampakkan wujudnya yang begitu indah. Sinar matahari menerpa permukaan bumi menembus langit yang terbuka. Sedikit pun tidak tampak bahwa kemarin baru saja terjadi badai.

Kawan, aku menyadari satu hal dalam kejadian ini. Ada sebuah filosofi yang bisa kita renungkan dalam hal ini. Jika kita menggambarkan langit sebagai perasaan kita dan awan adalah kesedihan atau masalah kita. Kita bisa melihat bahwa masalah dan kesedihan akan menyelubungi hati kita dan membuat kita tidak bisa memahami diri kita sendiri, seperti kita yang tak bisa menatap langit yang berawan.

Kesedihan tersebut membuat diri kita murung laksana langit yang mendung, membatasi pola pikir kita dan menimbulkan kecemasan serta amarah dalam diri kita. Jika kita mempertahankan kesedihan itu, sedikit demi sedikit hati kita akan tertutupi dan awan yang menyelubunginya akan berubah menjadi awan gelap. Gemuruh emosi akan menggetarkan diri kita, merusak akal sehat kita. Terlalu lama memendamnya, kesedihan itu akan menjadi awan badai yang siap menghancurkan diri kita sendiri.

Tapi, kawan, sadarilah bahwa kesedihan dan amarah bukanlah sesuatu yang tidak mungkin diatasi. Kita hanya perlu menyadari betapa birunya hati kita, bahwa kesedihan dan amarah tersebutlah yang membuat kita tidak menjadi diri kita sendiri. Jika kalian mau menangis, menangislah! Jika kalian mau berteriak, berteriaklah! Sampaikan kepada dunia betapa kalian sedang bersedih, sedang marah, khawatir. Layaknya badai yang menerpa muka bumi, sampaikanlah perasaan kalian, tanpa menghancurkan perasaan orang lain, tanpa merugikan orang lain. Seperti badai yang mengamuk hanya untuk memberitahu manusia betapa mereka telah menyakiti langit dan bumi.

Tapi janganlah menjadi badai yang merusak dunia ini seenaknya, melampiaskan emosi dengan memenuhi diri dengan dendam dan kebencian. Karena langit di hatimu akan menjadi keruh, kehilangan birunya yang bersinar memberikan kehangatan bagi sesama.

Lihatlah langit setelah badai. Begitu jernih dan hangat. Begitu biru dan memukau. Pertanda bahwa kesedihan sudah berlalu. Semakin kencang badai tersebut, semakin biru dan jernih langit itu. Semakin dalam kesedihan, semakin membara kemarahan kita, akan semakin jernih hati kita saat kita bisa menyelesaikan masalah tersebut.

Badai di hati kita adalah sebuah proses diri kita menjadi lebih baik. Kebahagiaan akan dianugerahkan kepada mereka yang berani melawan kesedihan dan amarah, menghentikan badai dalam diri mereka.

Kita hanya perlu bertahan dan berusaha untuk mengatasi permasalahan yang kita hadapi. Memendamnya hanya akan mengumpulkan awan kesedihan menjadi gelombang badai amarah yang. Mengungkapkan kesedihan saat awan kesedihan kita masih putih, hanya menurunkan gerimis kecil yang sedikit pun tidak merusak. Tak perlu ada badai jika kita bisa membuka hati kita.

Badai dan langit adalah ungkapan kecamuk perasaan dalam diri manusia. Biarkanlah badai itu berlalu dan jernihkan langit di hatimu. Hanya kamu yang tahu seberapa besar badai yang menerpa langit hatimu. Dan hanya kamu yang tahu bagaimana menghentikannya.

Semua akan indah pada waktunya.

Open The Sky in Your Heart,
Smile Eternally,
Wirapati

From Subjective to Objective

Sudah lama sekali aku ingin menulis tentang hal ini. Hal ini merupakan salah satu filosofi dalam hidupku yang bisa membuatku tetap optimis selain hal-hal yang telah kutuliskan dalam blogku.

Pernahkan kalian merasa rendah diri?

Sudah pasti semua orang pernah merasakannya. Perasaan inferior merupakan hal dasar yang dimiliki oleh manusia terlepas dari betapa besarnya sifat egois yang dimilikinya. Manusia adalah makhluk yang senang membandingkan dirinya dengan orang lain. Sifat membandingkannya tersebut, dapat menyebabkan dua hal, kesombongan atau perasaan rendah diri. Keduanya buruk, tetapi pada post ini aku hanya akan fokus pada gejala yang kedua, yaitu rendah diri.

Perasaan rendah diri ini muncul pada saat kita membandingkan diri kita dengan orang lain, dan mendapati betapa kita tidak bisa mencapai sesuatu seperti yang telah dicapai orang lain. Kita merasa bahwa betapa orang lain berkembang sementara kita hanya tetap pada kondisi kita saat ini. Kita merasa bahwa orang lain bisa mencapai sesuatu yang membanggakan sementara kita tidak sama sekali.

Pada akhirnya kita akan berpikir bahwa mereka memang lebih hebat dari kita dan tak ada yang bisa kita lakukan untuk melampaui mereka. Tidak ada yang bisa kita lakukan untuk bisa dibanggakan. Karena kita memang tidak memiliki bakat seperti yang mereka punya. Kerap kali, perasaan rendah diri ini membuat kita tidak percaya diri dan mengecap diri kita tidak mampu sama sekali sehingga kita tidak mau mencoba melakukan sesuatu yang kita anggap diri kita tidak mampu.

Perasaan rendah diri ini sebenarnya tidak perlu ada, jika kita tidak membandingkan diri kita dengan orang lain. Saat kita melihat bahwa orang lain dalam 1 jam belajar saja sudah bisa mendapat nilai bagus, dengan mudah kita mengatakan bahwa mereka lebih pintar dari kita dan kita bodoh. ITULAH YANG SALAH.

Mengapa kita harus membandingkan diri kita dengan orang lain? Kita adalah kita dan mereka adalah mereka. Kita dilahirkan berbeda karena itulah kita memiliki kemampuan yang berbeda. Selama ini kita diajari untuk bersikap objektif. Tapi, saat ini aku ingin mengatakan hal yang sebaliknya.

JADILAH LEBIH SUBJEKTIF PADA DIRI KITA SENDIRI.

Lihatlah diri kita dari sudut pandang kita sendiri. Jangan bandingkan dengan orang lain. Lihatlah bahwa dari semua yang sudah kita lakukan, pasti ada sesuatu yang merupakan kelebihan bagi diri kita sendiri dari segi proses maupun hasil, relatif terhadap kemampuan kita yang lain, bukan dengan kemampuan orang lain. Kotakanlah dahulu diri kita dalam penilaian kita sendiri. Dengan demikian kita dapat menilai diri kita sendiri tanpa harus terpengaruh oleh orang lain.

Saat kita mengetahui apa yang menurut kita sendiri, barulah kita membandingkan dengan orang lain. Jadilah lebih objektif saat kita sudah mengetahui kelebihan dari diri kita masing-masing secara objektif. Pada saat itulah kita menyadarinya, apakah kelebihan kita ini lebih dibandingkan orang lain atau tetap kalah.

Jika ternyata kita lebih dari orang lain, maka itulah kelebihan utama kita yang membedakan kita dengan orang lain. Jadilah lebih percaya diri dan gunakan kelebihan itu untuk lebih memperkaya diri.

Akan tetapi, bagaimana jika ternyata kelebihan kita itu sama dengan orang lain dan kita dalam posisi yang lebih tidak berprestasi dibandingkan mereka? Jika hal tersebut terjadi, kita harus percaya bahwa dari semua kelebihan yang kita miliki, kelebihan inilah yang paling bisa kita banggakan dan berusahalah untuk mengasahnya lebih dari kemampuan orang lain.

Orang yang berbakat hanya dapat ditaklukan oleh orang yang berusaha dan percaya pada kemampuannya sendiri lebih dari kemampuan orang lain yang serupa. Kita hanya perlu membandingkan diri kita dengan orang lain, dengan bersikap objektif, hanya untuk melihat sejauh mana kita berkembang, bukan untuk melihat sejauh mana yang kita pelrukan untuk melampaui mereka. Kenapa kita harus peduli dengan pencapaian orang lain? Kita harus menggapai apa yang kita percayai dengan tolak ukur kita sendiri.

Mulailah dengan bersikap subjektif pada diri kita sendiri dan jadilah objektif untuk melihat sejauh mana kita berkembang. Perkembangan orang lain bukanlah perkembangan kita. Karena itu kita jangan terpaku dengan perkembangan mereka. Jika kita tidak bisa mengalahkan mereka dari segi bakat, kalahkan dari segi kuantitas kerja. Manusia diciptakan multitalented, terlepas dari segala keterbatasan yang mereka miliki...

Hanya dengan percaya dan berusaha.

Smile Eternally,
Wirapati

To Love What You Learn

Sudah beberapa kali aku menanyakan hal ini kepada teman-temanku.

Apakah kalian lebih memilih "Menyukai apa yang kalian pelajari" atau "Mempelajari apa yang kalian sukai"?

Tentu saja, tak diragukan lagi hampir semua orang akan menjawab "Mempelajari apa yang kita sukai". Hal ini memang merupakan sifat dasar manusia yang lebih mengutamakan apa yang mereka inginkan dibandingkan apa yang mereka butuhkan.

Contohnya, sebagai mahasiswa FEUI. aku dan teman-temanku diberikan mata kuliah Pengantar Akuntansi, yang sebenarnya bukan merupakan mata kuliah jutusanku tetapi diwajibkan oleh fakultas. Sebagai mahasiswa Ilmu Ekonomi kami cenderung tidak menyukai mata kuliah itu dan lebih memilih mempelajari mata kuliah Ilmu Ekonomi yang merupakan mata kuliah jurusan kami. Kami tidak berusaha menyukai apa yang kami pelajari. Padahal, pasti ada tujuan tertentu mengapa fakultas mewajibkannya.

Contoh lainnya adalah bagaimana beberapa orang masuk jurusan yang sebenarnya tidak diinginkan. Seorang sahabatku ingin sekali menjadi dokter dan fakultas kedokteran UI merupakan pilihan pertamanya. Sementara itu, ternyata dia masuk Ilmu Ekonomi yang merupakan pilihan keduanya. Pada awalnya, dia masih menyesal mengapa tidak masuk kedokteran. Tetapi, lama-kelamaan dia menikmatinya. Dia belajar untuk menyukai apa yang dia pelajari, sementara banyak orang lain yang tidak mau menerima di mana dia ditempatkan sehingga tidak mau belajar dan pada akhirnya Drop Out adalah nasibnya.

Kita harus bisa menerima apa yang kita miliki saat ini, dan apa yang kita hadapi saat ini. Terkadang, apa yang kita dapatkan memang bukan yang kita inginkan. Tetapi, kita harus menanamkan sebuah kepercayaan bahwa apa yang kita dapatkan adalah apa yang kita butuhkan, walau tidak kita inginkan. Bahwa kita harus memaksimalkannya walaupun tidak kita inginkan.

Menerima sesuatu yang tidak kita inginkan memang sulit, dan mencintainya lebih sulit lagi. Hanya perasaan lapang dada saja yang bisa membuat kita menerima segalanya. Setiap manusia memiliki perannya masing-masing, terlepas dari apa yang dia miliki, apakah dia suka atau tidak. Lebih baik kita menerima sesuatu yang kita miliki saat ini dan memanfaatkannya untuk kebaikan semua orang, sekecil apapun, daripada kita tidak berbuat apa-apa.

Smile Eternally,
Wirapati...